Dinas Perikanan PPU Ingatkan Dampak Overfishing
Plt Kabid Perikanan Tangkap dan Perizinan, Dinas Perikanan PPU, Lomo Sabani. (BerandaPost.com)

Dinas Perikanan PPU Ingatkan Dampak Overfishing

BERANDAPOST.COM, PENAJAM – Fenomena penangkapan ikan berlebih atau overfishing menjadi ancaman bagi para nelayan Kabupaten Penajam Paser Utara (PPU).

Pelaksana Tugas (Plt) Kepala Bidang Perikanan Tangkap dan Perizinan, Dinas Perikanan PPU, Lomo Sabani menyampaikan persoalan tersebut. Ia menjelaskan bahwa peningkatan jumlah kapal dan penggunaan teknologi modern turut mempercepat pengurangan stok ikan pada perairan sekitar.

“Overfishing itu kelebihan penangkapan. Misalnya populasi ikan wilayah kita 1.000 ton. Seharusnya hanya boleh menangkap ikan 100 ton dalam setahun agar ekosistem tetap seimbang. Kalau sudah tertangkap 110 atau bahkan 150 ton, itu sudah masuk kategori overfishing,” ujar Lomo, Selasa (27/5/2025).

Menurut Lomo, menghitung secara pasti jumlah ikan yang tertangkap dan batas amannya memang tidak mudah, tetapi indikasinya sudah mulai terlihat.

Salah satunya dari laporan-laporan nelayan yang menyatakan bahwa mereka harus melaut lebih jauh untuk mendapatkan hasil tangkapan.

“Dulu cukup yang dekat-dekat saja. Sekarang sudah harus lebih jauh,” ungkap Lomo.

Menurutnya, jarak nelayan melaut juga ada hubungannya dengan peningkatan aktivitas perairan karena Teluk Balikpapan menjadi akses lalu lintas tongkang atau aktivitas perusahaan migas.

KELOLA LAUT DENGAN BIJAK

Lomo menambahkan, meskipun belum terlihat signifikan secara data, kondisi ini bisa menjadi ancaman serius dalam jangka panjang. Apabila tidak segera mengelola dengan bijak, dampaknya bisa terasa hingga 10 atau 20 tahun ke depan. Bahkan mengancam sumber penghidupan anak cucu nelayan pada masa mendatang.

Aktivitas pada kawasan perairan juga memberikan pengaruh. Banyak titik penangkapan ikan yang berada dekat dengan lokasi kapal-kapal besar bersandar, yang sebenarnya sudah ada aturan jarak aman tertentu.

Namun karena area tersebut terang dan menarik banyak ikan, nelayan tetap tergoda untuk mendekat. Meski secara hukum mereka tidak mendapatkan izin.

“Kalau ada dampak besar biasanya perusahaan bersedia memberi kompensasi, tapi kalau hanya karena ikannya makin sedikit, biasanya tidak ada ganti rugi. Karena mereka (kapal-kapal) beroperasi sesuai izin dan prosedur,” tambahnya.

Ia juga mencatat bahwa tidak semua nelayan mampu melaut lebih jauh karena keterbatasan ukuran kapal. Beberapa kapal kecil dengan kapasitas hanya tiga GT memang nekat melaut hingga jauh, tetapi jumlahnya tidak banyak. Mayoritas nelayan tetap bertahan pada jalur lama meskipun hasil tangkapan menurun.

Dengan kondisi ini, Lomo mengingatkan pentingnya kebijakan perikanan yang berkelanjutan serta edukasi kepada nelayan tentang praktik penangkapan yang ramah lingkungan.

“Ini harus menjadi perhatian kita bersama demi masa depan yang lebih baik bagi generasi selanjutnya,” pungkasnya. (adv/bro3)