BERANDAPOST.COM, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) mengkritisi kebijakan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terkait pembatasan impor bahan bakar minyak (BBM) non-subsidi. KPPU menilai aturan ini bisa mengganggu pasokan, mengurangi pilihan konsumen, dan memperkuat dominasi PT Pertamina Patra Niaga pada pasar.
Kepala Biro Hubungan Masyarakat dan Kerja Sama KPPU, Deswin Nur, menyampaikan bahwa pihaknya menghargai langkah pemerintah mengatur impor untuk memperkuat ketahanan energi dan memperbaiki neraca perdagangan nasional. Namun, ia menegaskan pentingnya menjaga keseimbangan agar kebijakan tetap mendukung persaingan usaha yang sehat.
“Kebijakan pembatasan kenaikan impor BBM non-subsidi maksimal 10 persen dari volume penjualan 2024 sebagaimana tertuang dalam Surat Edaran Nomor T-19/MG.05/WM.M/2025 berdampak signifikan terhadap badan usaha (BU) swasta yang bergantung pada impor. Ini juga menyebabkan konsumen kehilangan alternatif produk dan memperkuat dominasi pasar oleh Pertamina,” ujar Deswin dalam rilis resmi KPPU, Minggu (21/9/2025).
PERTAMINA KUASAI BBM
KPPU mencatat bahwa pembatasan impor membuat BU swasta hanya bisa menambah volume impor 7.000–44.000 kiloliter. Sebaliknya, Pertamina memperoleh tambahan impor hingga 613.000 kiloliter. Akibatnya, pangsa pasar Pertamina untuk segmen BBM non-subsidi kini mencapai 92,5 persen, sedangkan BU swasta hanya 1-3 persen.
“Pasar yang sangat terkonsentrasi seperti ini berisiko menimbulkan praktik tidak sehat, seperti diskriminasi harga dan pembatasan pasokan. Konsumen pun merasa rugi karena tidak memiliki banyak pilihan produk,” jelas Deswin.
KPPU juga menilai kebijakan yang mewajibkan BU swasta membeli pasokan dari kompetitor atau membatasi impor melalui satu pintu bertentangan dengan prinsip Daftar Periksa Kebijakan Persaingan Usaha (DPKPU). Terutama yang termaktub dalam Peraturan KPPU Nomor 4 Tahun 2023. Setidaknya ada dua potensi pelanggaran, yaitu pembatasan jumlah penjualan atau pasokan barang, serta penunjukan pemasok tertentu secara eksklusif.
SINYAL NEGATIF INVESTASI MIGAS
Deswin menambahkan bahwa kebijakan ini bisa memicu inefisiensi karena infrastruktur BU swasta tidak termanfaatkan optimal. Selain itu, aturan tersebut dapat mengirimkan sinyal negatif bagi investor baru dalam sektor hilir migas.
“Oleh karena itu, penting agar kebijakan publik terus mendapat evaluasi secara berkala. Pemerintah perlu menjaga keseimbangan antara stabilitas energi, efisiensi pasar, dan keberlanjutan investasi,” ujar Deswin.
KPPU menekankan bahwa kebijakan publik sebaiknya tetap sejalan dengan prinsip persaingan usaha yang sehat. Dengan begitu, target pertumbuhan ekonomi nasional dapat tercapai melalui sinergi BUMN dan BU swasta. Sehingga tanpa mengorbankan kepentingan konsumen maupun pelaku usaha lainnya. (*/bro3)