BERANDAPOST.COM, JAKARTA – Presiden Prabowo Subianto menginisiasi Program Sekolah Rakyat sebagai upaya memutus rantai kemiskinan melalui pendidikan. Pemerintah mulai menjalankan program ini pada tahun ajaran 2025/2026. Awalnya dengan kegiatan Masa Pengenalan Lingkungan Sekolah (MPLS) pada Senin (14/7/2025).
Pemerintah merancang program ini untuk menyiapkan sumber daya manusia yang tangguh, sejalan dengan visi Indonesia Emas 2045.
“Sekolah Rakyat merupakan implementasi Asta Cita nomor empat Presiden Prabowo. Presiden memahami bahwa pendidikan menjadi kunci untuk memutus rantai kemiskinan. Jangan sampai kemiskinan menjadi warisan,” ujar Tenaga Ahli Utama Kantor Komunikasi Kepresidenan/Presidential Communication Office (PCO), Adita Irawati, Selasa (15/7/2025).
Adita menjelaskan bahwa Sekolah Rakyat merupakan sekolah gratis berasrama yang bertujuan khusus bagi anak-anak dari keluarga miskin dan miskin ekstrem.
Ia menyebut masih banyak keluarga miskin, termasuk yang tergolong miskin ekstrem atau warga desil 1 dalam Data Tunggal Sosial Ekonomi Nasional (DTSEN) Badan Pusat Statistik (BPS), belum memiliki akses terhadap pendidikan layak maupun berkualitas. Ia menegaskan bahwa kendala utama mereka adalah persoalan ekonomi.
“Sekolah negeri saat ini memang sudah gratis, tetapi bagaimana dengan biaya transportasi? Bagaimana dengan uang jajan, seragam, dan perlengkapan lainnya? Itu semua menjadi beban keluarga. Sementara, untuk makan sehari-hari saja mereka sudah kesulitan,” ungkapnya.
Ia menambahkan bahwa kemiskinan menjadi sumber utama ketidakmampuan masyarakat dalam mengakses layanan dasar seperti pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur yang layak.
Berdasarkan data BPS (2025), jumlah penduduk miskin pada September 2024 mencapai 24,06 juta jiwa atau 8,57 persen. Dari jumlah itu, sebanyak 3.170.003 jiwa termasuk kategori miskin ekstrem.
PUTUS RANTAI KEMISKINAN
Pemerintah menilai kemiskinan sebagai tantangan besar dalam mewujudkan visi Indonesia Emas 2045. Kemiskinan sangat memengaruhi pengembangan sumber daya manusia karena membatasi akses terhadap pendidikan berkualitas. Termasuk untuk pelatihan keterampilan, layanan kesehatan, serta pangan dan gizi yang mencukupi.
Ketidakmampuan dalam mengakses pendidikan berkualitas menyebabkan rendahnya literasi dan keterampilan. Sehingga membatasi peluang individu dalam memeroleh pekerjaan layak dan meningkatkan penghasilan.
Pemerintah mencatat bahwa keterbatasan ekonomi menjadi penghambat utama pemerataan pendidikan.
Data BPS (2024) menunjukkan Angka Partisipasi Kasar (APK) jenjang SMA/SMK sederajat pada rumah tangga kelompok pengeluaran terendah (kuintil 1) hanya mencapai 74,45 persen, sedangkan kelompok pengeluaran tertinggi (kuintil 5) mencapai 97,37 persen.
Persentase Anak Tidak Sekolah tertinggi terdapat pada kelompok umur 16–18 tahun, yaitu sebesar 19,20 persen. Sekitar 730.703 lulusan SMP tidak melanjutkan ke jenjang pendidikan menengah atas.
Dari jumlah itu, 76 persen keluarga menyatakan faktor ekonomi sebagai penyebab utama, sedangkan 8,7 persen anak-anak harus mencari nafkah atau menghadapi tekanan sosial dari lingkungan keluarga.
Data Kemendikbudristek tahun 2022 mencatat bahwa angka putus sekolah untuk tingkat SMP mencapai 1,12 persen dan tingkat SMA mencapai 1,19 persen.
Presiden Prabowo kemudian meluncurkan Program Sekolah Rakyat untuk menjawab persoalan tersebut. Melalui konsep sekolah gratis berasrama, pemerintah berharap anak-anak dari keluarga rentan dapat menikmati pendidikan yang setara dan berkualitas tanpa terbebani biaya hidup.
“Dengan adanya Sekolah Rakyat, maka negara menanggung seluruh kebutuhan siswa,” tegas Adita.
Lebih dari sekadar memberikan akses pendidikan, Sekolah Rakyat juga untuk menggali potensi dan bakat siswa melalui pemetaan, serta membekali mereka dengan keterampilan hidup. Pemerintah berharap para siswa siap memasuki dunia kerja atau merintis usaha mandiri, sehingga mampu meningkatkan taraf hidup keluarga dan komunitasnya.
“Presiden Prabowo Subianto telah mewanti-wanti para pembantunya bahwa Sekolah Rakyat harus terlaksana dengan tepat, menggunakan cara yang benar, dan benar-benar mencapai tujuannya. Para siswa agar menjadi generasi muda yang mampu berkontribusi dalam mewujudkan Indonesia Emas 2045,” pungkas Adita. (*/bro2)