BERANDAPOST.COM, BALIKPAPAN – Deflasi 0,73 persen pada Agustus 2025 tercatat untuk Kota Balikpapan. Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan inflasi tahun kalender Januari-Agustus 2025 sebesar 1,40 persen.
Secara tahunan, Indeks Harga Konsumen (IHK) Balikpapan mencapai inflasi 1,31 persen, lebih rendah dari inflasi nasional 2,31 persen maupun rata-rata empat kota Kalimantan Timur yang sebesar 1,79 persen.
Kepala Perwakilan Bank Indonesia (KPw BI) Balikpapan, Robi Ariadi, menegaskan pencapaian tersebut masih sesuai rentang sasaran inflasi nasional 2,5±1 persen.
“Deflasi yang terjadi untuk Kota Balikpapan pada Agustus terutama karena pengaruh kelompok transportasi. Tarif angkutan udara yang belum kembali normal usai kebijakan diskon, serta tambahan penerbangan membuat harga tiket pesawat turun signifikan,” ujarnya, Kamis (11/9/2025).
Selain transportasi udara, beberapa komoditas lain juga menekan inflasi. Tomat, bahan bakar rumah tangga, cabai rawit, dan biaya sekolah menengah pertama tercatat ikut menyumbang deflasi. Penurunan harga pangan akibat melimpahnya pasokan saat panen raya, sementara biaya pendidikan SMP berkurang karena subsidi dari pemerintah kota.
Meski begitu, inflasi tetap muncul dari kelompok perawatan pribadi dan jasa lainnya dengan andil 0,02 persen. Robi menjelaskan, komoditas penyumbang inflasi terbesar adalah bawang merah, ikan layang, angkutan laut, ketimun, dan kacang panjang.
“Kenaikan harga bawang merah terjadi karena terbatasnya pasokan dari sentra produksi akibat cuaca kemarau basah. Begitu juga dengan ikan layang, yang pasokannya menurun akibat gelombang laut tinggi, sementara permintaan tetap kuat,” jelasnya.
Ia menambahkan, tarif angkutan laut naik karena penyesuaian harga bahan bakar minyak (BBM) jenis Dexlite dan Pertamina Dex per 1 Agustus 2025. Sementara itu, harga sayuran seperti ketimun dan kacang panjang meningkat akibat terbatasnya produksi lokal.
“Ke depan, Bank Indonesia bersama Tim Pengendalian Inflasi Daerah (TPID) Balikpapan akan terus memperkuat koordinasi agar stabilitas harga tetap terjaga, khususnya menghadapi risiko cuaca ekstrem yang memengaruhi produksi pangan,” pungkas Robi. (bro2)