BERANDAPOST.COM, JAKARTA – Akar Desa Indonesia meluncurkan buku pedoman pembentukan peraturan desa mengenai transisi energi dan keadilan iklim dalam Aula GBN. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik, jumlah wilayah desa mencapai sekitar 74.000. Dengan jumlah yang sangat besar, desa memiliki potensi serta sumber daya alam yang melimpah.
Ketua Umum Akar Desa Indonesia, Rifqi Nuril Huda, mengatakan, buku pedoman tersebut bermula dari beberapa diskusi kecil bersama petani, nelayan, dan pemuda desa yang merasakan dampak perubahan iklim.
“Kami berinisiatif memberikan solusi dari bawah, yaitu melalui kebijakan pemerintah desa. Tentunya dengan menggunakan instrumen hukum untuk adaptasi dan mitigasi perubahan iklim,” katanya dalam rilis tertulis, Selasa (18/2/2025).
Ia juga berharap buku pedoman ini menjadi referensi bagi para kepala desa seluruh Indonesia. “Tentunya untuk memasukkan kebijakan transisi energi dan keadilan iklim melalui peraturan desa,” tambahnya.
Setelah peluncuran buku pedoman, acara berlanjut dengan seminar nasional bertema “Mendorong Peraturan Desa untuk Transisi dan Keadilan Iklim di Desa”. Hadir dalam seminar Peneliti Seknas Fitra Gulfino Guevarrato, dan Pemerhati (Analis) Pertanian dan Pangan Jan Prince Permata, serta pegiat dari Yayasan Kekal Berdikari.
MITIGASI PERUBAHAN IKLIM
Gulfino dalam paparannya menyampaikan bahwa peran penting dan kehadiran pemerintah desa, terutama daerah pesisir sangat berperan penting.
“Terutama dalam menghadapi dampak perubahan iklim yang masyarakat pesisir harus merasakan,” ujarnya.
Permukiman nelayan, lanjut Gulfino, menghadapi berbagai tantangan seperti buruknya sanitasi, kurangnya air bersih, dan sampah yang masuk ke rumah-rumah penduduk pesisir.
“Semuanya juga banyak yang berkorelasi erat dengan dampak perubahan iklim, seperti banjir rob,” sebutnya.
Pada kesempatan yang sama, Jan Prince Permata memaparkan dampak perubahan iklim bagi sektor pangan antara lain kerusakan ekosistem pertanian akibat degradasi lahan dan penurunan produksi pangan.
“Kita seharusnya mulai melakukan pertanian organik dan ramah lingkungan, seperti penggunaan pupuk organik dan rotasi tanaman. Jika kita mulai dari desa, tampaknya kita bisa mengerjakan secara bersama-sama, dan tentunya lebih realistis,” imbuhnya.
Seminar ini juga menarik perhatian puluhan pemuda dan mahasiswa dari berbagai kampus, yang mayoritas berasal dari desa. (*/bro2)