BERANDAPOST.COM, BALIKPAPAN – Tumpukan uang pecahan Rp100 ribu dan Rp50 ribu memenuhi meja saat Polda Kaltim membeberkan dugaan korupsi proyek Rice Processing Unit (RPU) di Kutai Timur. Uang yang nilainya mencapai Rp7 miliar itu menjadi bukti awal dugaan penyelewengan dalam pengadaan RPU.
Polda Kaltim menyita uang Rp7 miliar itu dari tiga tersangka. Sedangkan kasus ini merugikan negara hingga Rp10.8 miliar.
Direktur Kriminal Khusus Polda Kaltim Kombes Pol Bambang Yugo Pamungkas menyebut para tersangka adalah GB selaku PPK, DJ sebagai PPTK, dan BR sebagai penyedia barang.
“Ketiganya dengan dugaan terlibat sejak perencanaan hingga pelaksanaan sehingga pengadaan RPU menyimpang,” ujarnya, Rabu (3/12)
Bambang menjelaskan pengadaan RPU berlangsung pada Maret hingga Desember 2024. Pagu awal sebesar Rp26 miliar disesuaikan menjadi Rp24,9 miliar. Dari penyidikan, polisi menemukan rekayasa dokumen dan pemilihan penyedia yang merugikan negara.
“Penyimpangan tidak terjadi pada sistem e-katalog, tetapi tersangka merekayasa pelaksanaan,” tuturnya.
PERAN TIGA TERSANGKA KORUPSI RPU
Kasus ini bermula saat komunikasi para tersangka terjalin pada Maret 2024. Saat itu GB dan DJ berkunjung ke sebuah koperasi dan bertemu BR serta LN. Dari pertemuan itu pembahasan pengadaan RPU mulai mengerucut.
BR kemudian menyusun desain RPU berkapasitas 2 sampai 3 ton per jam. Ia juga menyiapkan rancangan pengering dan kebutuhan teknis lain. Pada pertengahan April, DJ memberi tahu bahwa anggaran Rp25 miliar tersedia dan meminta LN menyiapkan dokumen pendukung.
Selanjutnya, BR mengolah format administrasi hingga menghasilkan nilai Rp24.998.751.000. DJ lalu menandatangani dokumen tersebut bersama stafnya. Memasuki Mei, DJ menyampaikan bahwa pemilihan penyedia melalui e-katalog.
“Pada 14 Mei, BR mengarahkan LN mengunggah 18 item RPU ke e-katalog sesuai spesifikasi mereka,” jelas Bambang.
BR kemudian menghubungi perusahaan luar daerah untuk pengadaan mesin RPU. Karena lokasi pemasangan berada pada area nonkomersial dan dekat lahan Pertamina, penyedia menyiapkan genset untuk operasional awal.
Dalam pemeriksaan, penyidik menemukan banyak pelanggaran. GB tidak menyusun spesifikasi teknis sesuai ketentuan dan mengabaikan SNI, TKDN, garansi, dan dokumen wajib lain. Ia menyiapkan dokumen pengadaan tanpa survei lapangan dan menyetujui serah terima 100 persen meski belum ada uji barang.
DJ menyusun berita acara survei dan SSH tanpa pemeriksaan lapangan. Ia juga membantu penyedia menyesuaikan dokumen untuk mengunci pengadaan dan menandatangani pembayaran penuh meski pekerjaan belum 100 persen selesai.
BR menyusun desain, spesifikasi, dan screenshot barang untuk mengarahkan pengadaan. Ia juga menyerahkan barang yang tidak sesuai spesifikasi kontrak.
PENYIDIK PERIKSA 37 SAKSI
Bambang menyebut terdapat 37 saksi yang menjalani pemeriksaan dalam penyidikan ini. Mereka berasal dari Dinas Ketahanan Pangan, PT SIA, rekanan pihak ketiga, BPKAD, enam kelompok tani, serta satu saksi dari Pertamina dan PLN.
“Selain itu, lima ahli juga memberi keterangan, yaitu ahli pengadaan, ahli keuangan, ahli digital forensik, auditor PKKN, dan ahli pidana korupsi,” katanya.
Selain uang tunai Rp7 miliar, penyidik juga menyita barang bukti lainnya berupa sembilan telepon genggam, dua komputer, dan banyak dokumen.
Penyidik Polda Kaltim menjerat para tersangka dengan pasal berlapis dari Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Ancaman pidananya maksimal penjara seumur hidup. (bro2)



