AJI Balikpapan Dorong Jurnalis Sadar Berserikat
AJI Balikpapan rayakan WPFD 2025 dengan diskusi dan nonton bareng film ‘Cut to Cut’ yang angkat isu kerentanan kerja dan pentingnya serikat jurnalis. (Istimewa)

AJI Balikpapan Dorong Jurnalis Sadar Berserikat

BERANDAPOST.COM, BALIKPAPAN – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Balikpapan memperingati World Press Freedom Day (WPFD) 2025 dengan menggelar diskusi dan nonton bareng film “Cut to Cut”. Film tersebut mengisahkan perjuangan jurnalis yang rentan sebagai buruh dalam menjalankan kerja jurnalistik.

AJI Balikpapan menyelenggarakan diskusi tersebut di Andaliman Coffee Balikpapan pada Sabtu (10/5/2025), dengan mengangkat tema “Kerentanan Kerja Jurnalistik dan Jurnalis sebagai Pekerja”.

Diskusi menghadirkan Ketua Pusat Bantuan Hukum (PBH) Peradi Balikpapan Ardiansyah dan Jurnalis Kompas.id Sucipto sebagai pemantik, serta Ketua AJI Balikpapan Erik Alfian sebagai moderator.

Sucipto menyampaikan bahwa prasyarat kebebasan pers yang sehat adalah jurnalis yang independen. Menurutnya, jurnalis bisa menjaga independensi jika mendapat upah layak dan kebebasan berserikat sehingga mereka mampu melindungi hak-haknya sebagai pekerja.

DAMPAK POSITIF SERIKAT PEKERJA

Ia menceritakan dampak positif keberadaan serikat dalam tempatnya bekerja. “Adanya serikat membuat kami akhirnya punya posisi tawar kepada perusahaan,” ujarnya.

Saat pandemi COVID-19, serikat berhasil menegosiasikan hari libur dari satu hari menjadi dua hari dalam seminggu. Serikat juga terlibat dalam pembahasan peraturan perusahaan, termasuk soal uang pesangon.

Sucipto menegaskan bahwa serikat mendorong perusahaan untuk membuat kebijakan berdasarkan suara karyawan.

Ketua AJI Balikpapan Erik Alfian menjelaskan bahwa publik sering kali menganggap profesi jurnalis sebagai pekerjaan superior yang bisa bertemu siapa saja dan ke mana saja. Namun, ia menilai banyak jurnalis belum menyadari bahwa mereka juga merupakan buruh.

“Kami menekankan bahwa jurnalis sama seperti profesi pekerja atau buruh lainnya. Mereka bisa mengalami pemotongan gaji, PHK sepihak, upah kurang dari UMK, hingga intimidasi,” ungkap Erik.

Erik menyebut persoalan ini semakin sering terjadi. Film “Cut to Cut” menampilkan kasus yang jurnalis CNN Indonesia rasakan. Bahkan untuk Balikpapan sendiri, belasan jurnalis mengalami pemotongan gaji 10–30 persen oleh perusahaannya saat pandemi.

“Perusahaan bahkan memutuskan untuk melakukan demosi terhadap beberapa awak redaksi,” lanjutnya.

Erik mengatakan bahwa AJI Balikpapan mengecam PHK sepihak tersebut, dan kasusnya berlanjut ke Pengadilan Hubungan Industrial (PHI), di mana gugatan awak redaksi dikabulkan.

JURNALIS HARUS BERSERIKAT

Sementara itu, Ketua PBH Peradi Balikpapan Ardiansyah menyatakan bahwa jurnalis sangat rentan terhadap penggerusan hak-hak mereka. Ia menegaskan bahwa jurnalis harus berserikat tanpa perlu meminta izin dari perusahaan atau pemilik modal.

Ardiansyah menyebut perusahaan yang menghalangi serikat bisa terjerat sanksi pidana. Ia menyarankan agar jurnalis segera melaporkan ke polisi jika menghadapi ancaman berupa pemotongan gaji atau PHK sepihak.

“Perusahaan yang menghalangi proses berserikat bisa terkena gugatan pidana, apapun bentuk ancamannya,” tegas Ardiansyah. Ia menilai permasalahan ini bukan sekadar kasus konvensional, melainkan kasus struktural karena terjadi ketimpangan antara perusahaan dan pekerja.

“Banyak jurnalis enggan menyandang sebutan buruh. Itu yang menyebabkan serikat pers belum tumbuh dalam Kota Balikpapan,” ungkapnya.

Ardiansyah menekankan pentingnya membangun semangat berserikat demi memperjuangkan hak pekerja. Ia juga mendorong jurnalis aktif berdiskusi dengan jaringan lain untuk menghadapi dinamika hubungan industrial.

Kegiatan ini diikuti oleh jurnalis dari berbagai media serta aktivis dan praktisi hukum. Mereka membahas isu kebebasan berserikat, kebebasan pers, dan perlindungan hukum bagi pekerja media. (*/bro2)