BERANDAPOST.COM, JAKARTA – Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) memainkan peran penting dalam mengawasi industri gula, khususnya terkait tata niaga gula. KPPU melakukan berbagai cara untuk mengatasi persoalan dalam industri ini, mulai dari kajian, pemberian saran dan pertimbangan, hingga penegakan hukum.
Secara umum, kajian KPPU menyimpulkan bahwa industri gula cenderung berkembang menjadi oligopoli, baik dari sisi produsen hingga pendistribusian. Kebijakan Pemerintah untuk mengatur tata niaga impor justru semakin memperkuat struktur oligopoli ini.
Kondisi tersebut menjadikan industri gula sebagai salah satu fokus utama pengawasan KPPU agar dapat menciptakan pasar yang lebih kompetitif.
“Industri gula adalah salah satu prioritas KPPU, sehingga kami memantau industri ini secara konsisten. Kami telah melakukan berbagai kajian, memberikan saran dan pertimbangan kepada Presiden dan Menteri terkait untuk pembenahan industri gula. Bahkan, penegakan hukum telah kami lakukan atas berbagai persoalan, seperti proses lelang gula ilegal, distribusi, hingga jasa survei gula impor,” ujar Ketua KPPU, M. Fanshurullah Asa, melalui keterangan tertulis pada Selasa (14/11/2024).
KPPU telah dua kali memberikan saran dan pertimbangan kepada pemerintah terkait pembenahan industri gula. Pada Januari 2004, KPPU menyoroti mekanisme penunjukan importir produsen dan importir terdaftar. Khususnya yang berpotensi menciptakan hambatan pasar dan memfasilitasi kartel antar pelaku usaha.
Kemudian, pada September 2010, KPPU memberikan saran kepada Presiden RI untuk mendorong penyempurnaan kebijakan tata niaga gula. Termasuk penetapan harga secara rigid pada setiap level distribusi, serta menetapkan harga eceran tertinggi (HET) untuk tingkat konsumen.
KPPU juga mendorong pembangunan roadmap industri gula nasional yang dapat menghasilkan harga yang kompetitif dan mampu bersaing pada pasar global. Selain itu, KPPU menyarankan agar meninjau kembali kebijakan dana talangan untuk menjamin harga gula petani tetap pada atas harga dasar.
PERSEKONGKOLAN LELANG GULA ILEGAL
Penanganan perkara juga telah dilakukan KPPU pada industri gula. Salah satu kasus yang menarik perhatian publik adalah Perkara Nomor 4/KPPU-L/2005 terkait persekongkolan tender lelang gula ilegal.
“KPPU menerima laporan terkait penyimpangan dalam pelaksanaan lelang barang bukti perkara tindak pidana kepabeanan. Lelang oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Utara melalui PT Balai Mandiri Prasarana pada 4 Januari 2005,” ungkapnya.
KPPU menyelidiki lelang gula ilegal sebanyak 56.343 ton yang pelaksanaannya tidak sesuai ketentuan, dengan pengumuman lelang yang tidak terpublikasi secara luas dalam media nasional. Pada akhirnya, hanya dua peserta yang mengikuti lelang. Dalam perkara ini, KPPU menjatuhkan denda masing-masing Rp1 miliar kepada PT Angels Products, PT Bina Muda Perkasa, dan Sukamto Effendy.
KPPU berhasil membuktikan adanya koordinasi antara peserta tender yang menciptakan persaingan semu dalam lelang gula ilegal. Tercatat, ketiga terlapor membayar denda pada tahun 2008.
DALAMI PERKARA JASA SURVEI
Selain itu, KPPU juga menangani Perkara Nomor 8/KPPU-1/2005 terkait dugaan pelanggaran Pasal 5 ayat (1), Pasal 17, dan Pasal 19 dalam penyediaan jasa survei gula impor oleh PT Sucofindo dan PT Surveyor Indonesia. KPPU juga menindaklanjuti Perkara Nomor 5/KPPU-L/2006 terkait dugaan pelanggaran distribusi gula oleh PT Perkebunan Nusantara XI (PTPN VI) yang melibatkan 11 peserta lelang gula.
Secara umum, KPPU menilai pengaturan komoditas gula—baik gula rafinasi maupun Gula Kristal Putih (GKP)—cenderung mengarah pada inefisiensi dan ketidakadilan bagi konsumen.
“Penetapan Harga Acuan Penjualan merugikan konsumen akhir karena mengacu pada industri yang tidak efisien. Pabrik dengan mesin tua atau produktivitas rendah akan merugikan konsumen, sementara produsen yang lebih efisien akan mendapat keuntungan lebih besar,” katanya.
KPPU juga mencatat bahwa ketidakefisienan produksi gula menyebabkan ketergantungan pada impor. Tahun ini, dengan kebutuhan nasional sebesar 2,93 juta ton dan produksi domestik sekitar 2,38 juta ton, Indonesia bakal mengimpor sekitar 708 ribu ton gula.
“Ketidakefisienan ini menyebabkan harga gula dalam negeri tetap tinggi, sehingga konsumen harus membayar lebih mahal. Kondisi pasar yang cenderung oligopoli juga membuka peluang bagi pelaku usaha untuk mengendalikan industri gula,” tambahnya.
Saat ini, pangsa pasar produsen gula konsumsi dikuasai oleh beberapa pemain besar, seperti PT Sinergi Gula Nusantara (PT SGN), Sugar Group, dan Gunung Madu.
“Dalam kondisi seperti ini, kebijakan pemerintah harus mampu membatasi potensi penyalahgunaan kekuatan oligopoli milik pelaku usaha industri gula,” pungkasnya. (bro3)